Penjelasan
________________________________________
UNDANG-UNDANG PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK
(UNDANG-UNDANG No. 32 TAHUN 1954,
LEMBARAN NEGARA 98/1954, BERTANGGAL 26 OKTOBER DAN DIUNDANGKAN
PADA TANGGAL 2 NOPEMBER 1954)
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.
Menimbang:
1. bahwa kini di Indonesia berlaku beberapa macam peraturan tentang pencatatan nikah talak dan rujuk bagi Umat Islam antara lain:
a. Undang-undang Republik Indonesia tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 tahun 1946 dan
b. Huwelijksordonnantie Buitengewesten 1932 No. 482;
c. Peraturan-peraturan tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk yang berlaku di daerah-daerah Swapraja;
d. Peraturan-peraturan lain yang berlaku di daerah di luar Jawa dan Madura;
2. bahwa Undang-undang Republik Indonesia No. 22 tahun 1946, yang dalam penjelasannya, diperuntukkan buat seluruh Indonesia;
3. bahwa berhubung dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu adanya satu macam Undang-undang tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.
Mengingat:
Pasal 89 dan pasal 117 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
MEMUTUSKAN:
Dengan rnencabut Huwelijksordonnantie Buitengewesten Staatsblad 1932 No. 482 dan semua peraturan-peraturan (juga dari Pemerintah Swapraja) tentang pencatatan nikah talak dan rujuk untuk Umat Islam yang berlainan dan yang bertentangan dengan Undang-undang tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 tahun 1946 Republik Indonesia,
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
TANGGAL 21 NOPEMBER 1946 No. 22 TAHUN 1946
TENTANG PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK
DI SELURUH DAERAH LUAR JAWA DAN MADURA sebagai berikut:
Pasal 1.
Undang-undang Republik Indonesia tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk berlaku untuk seluruh daerah luar Jawa dan Madura.
Pasal 1A.
Perkataan biskal-gripir hakim kepolisian yang tersebut dalam pasal 3 ayat 5 Undang-undang Republik Indonesia No. 22 tahun 1946 diubah menjadi Panitera Pengadilan Negeri.
Pasal 2.
Peraturan-peraturan yang perlu untuk melaksanakan apa yang tersebut dalam pasal 1 Undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Agama. (Vide: Tambahan Lembaran Negara 309, 913, 914, 916, 917, dan 956).
Pasal 3.
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Diundangkan
pada tanggal 2 Nopember 1954.
MENTERI KEHAKIMAN,
DJODY GONDOKUSUMO Disahkan di Jakarta
pada tanggal 26 Oktober 1954.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SUKARNO
MENTERI AGAMA,
K. H. MASJKUR
nach: Himpunan Peraturan Perundang - Undangan Republik Indonesia, Jakarta 1992 S. 789.
nach: Asmin, Satus Perkawinan Antar Agama - Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974.Jakarta 1986 S. 142-143.
(T.L.N.No. 694)
MEMORI PENDJELASAN
MENGENAI UNDANG-UNDANG TENTANG
PENETAPAN BERLAKUNJA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
TANGGAL 21 NOPEMBER 1946 No. 22 TAHUN 1946
TENTANG PENTJATATAN NIKAH, TALAK DAN RUDJUK
DISELURUH DAERAH LUAR DJAWA DAN MADURA
Undang-undang tanggal 21 Nopember 1946 Nr. 22 tahun, 1946 RI dulu memang dimaksudkan untuk dilakukan buat seluruh Indonesia, tetapi berhubungan keadaan belum menigidjinkannja maka berlakunja Undang-undang tersebut di luar Djawa dan Madura akan ditentukan oleh Undang-Undang lain (Pasal 6 ajat 2 Undang-undang tanggal 21 Nopember 1946 Nr.22 tahun 1946 Republik Indonesia).
Kini Negara Kesatuan telah terbentuk dan keadaan sudah mengidjinkan untuk melaksanakan berlakunja Undang-undang Nomer 22 tahun 1946 tersebut di luar Djawa dan Madura.
Sebagai diketahui di daerah-daerah luar Djawa dan Madura, ketjuali di Sumatera jang telah ditetapkan berlakunja Undang-undang Nr. 22 tahun 1946 oleh Pemerintah Darurat RI dengan surat keputusannja tanggal 14 Djuni 1949 Nr.l/pdri/ka, masih berlaku "Huwelijksordannantie Buitengewesten" (Staatsblad 1932 Nr. 482) jang mempunjai sifat-sifat jang tidak sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini sebagai diterangkan dalam pendjelasan umum dari Undang-undang Nr. 22 tahun 1946 tersebut di atas.
Di daerah-daerah Swapraja di luar Djawa dan Madura, jang tidak sedikit djumlahnja Huwelijksordonnantie Buitengewesten pada umumnja tidak berlaku, sehingga tjara pentjatatan Nikah, Talak dan Rudjuk di daerah Swapraja tersebut beraneka warna adanja menurut peraturan-peraturan jang berlaku untuk tiap-tiap Swapraja masing-masing.
Di daerah-daerah jang dahulu masuk Negara Bagian sebagai Negara Sumatera Timur, Pasundan, Negara Djawa dan sebagainja, berhubung dengan pergantian-pergantian pemerintahan, mungkin masih ada daerah-daerah jang masih mendjalankan peraturan-peraturan tentang pentjatatan Nikah, Talak dan Rudjuk jang lain dari pada Undang-undang Nr.22 tahun 1946 tersebut di atas.
Untuk menghilangkan keragu-raguan ini, maka dinjatakan bahwa Undang-undang Nr. 22 tahun 1946 berlaku untuk seluruh Indonesia, untuk tempat-tempat jang belum mendjalankan Undang-undang tersebut ditetapkan mendjalankan Undang-undang itu mulai tanggal 1 April 1951. Begitu itu agar supaja dapat diatur peralihan, hingga tidak terdjadi stagnatie, vacuum, atau kekatjauan.
Dengan ditjabutnja semua peraturan tentang pentjatatan Nikah, Talak dan Rudjuk dan digantikannja dengan Undang-undang Nr.22 tahun 1946, maka akan ada peraturan tentang Pentjatatan Nikah, Talak dan Rudjuk jang satu, jang berlaku untuk seluruh Indonesia.
Perlu kiranja diketahui, bahwa Undang-undang ini hanja mengenai Pentjatatan Nikah, Talak dan Rudjuk dan tidak mengurangi usaha-usaha jang tengah dikerdjakan oleh Panitija Penjelidik Hukum Perkawinan Talak dan Rudjuk jang dipimpin oleh Saudara Mr. Teuku Mohd. Hasan, di dalam mempersiapkan undang-undang baru sesuai dengan keinginan-keinginan jang diadjukan di dalam Parlemen antara lain Saudara jang terhormat Njonja Mudigdio.
PENJELASAN UMUM
Peraturan pencatatan nikah, talak dan rujuk seperti termuat dalam Huwelijksordonnantie S. 1929 No 348 jo S. 1931 No. 467, Vorstenlandsche Huwelijksordonnantie S. 1933 No. 98 dan Huwelijksordonnantie Buitengewesten S. 1932 No. 482 tidak sesuai lagi dengan keadaan pada masa sekarang sehingga perlu diadakan peraturan baru yang selaras dengan negara yang modern.
Untuk melaksanakan peraturan ini dibutuhkan penyelidikan yang teliti dan saksama, sehingga sudah barang tentu tidak akan tercapai di dalam waktu yang singkat. Akan tetapi untuk mencukupi kebutuhan pada masa ini berhubung dengan keadaan yang sangat mendesak peraturan-peraturan pencatatan nikah, talak dan rujuk tersebut di atas, dicabut serta diganti oleh peraturan baru yang dapat memenuhi sementara keperluan-keperluan pada masa ini.
Peraturan-peraturan pencatatan nikah, talak dan rujuk tersebut di atas kesemuanya bersifat propinsialistis yang tidak sesuai dengan keadaan sekarang. Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, dan sudah sepantasnya bahwa peraturan-peraturannya bersifat kesatuan pula. Dari itu Huwelijksordonnantie S. 1929 No. 348 jo S. 1931 No. 467, Vorstenlandsche Huwelijksordonnantie S. 1933 No 98 dan Huwelijksordonnantie Buitengewesten S. 1932 No 482 patut dicabut. Selain daripada itu peraturan di dalam Huwelijksordonnantie-Huwelijksordonnantie itu memberi kesempatan untuk mengadakan tariep ongkos pencatatan nikah, talak dan rujuk yang berbeda-beda, sehingga tiap-tiap Kabupaten mempunyai peraturan sendiri. Hal sedemikian itu perlu dirobah serta diganti dengan peraturan yang satu, untuk seluruh Indonesia. Di mana berhubung dengan keadaan belum memungkinkan, di situ peraturan yang baru ini tentu belum dapat dijalankan, akan tetapi pada azasnya, peraturan ini diuntukkan untuk seluruh Indonesia serta harus segera dijalankan, di mana keadaan telah mengizinkan.
Selanjutnya peraturan-peraturan yang dicabut itu, tidak menjamin penghasilannya para pegawai pencatat nikah, hanya digantungkan pada banyak sedikitnya ongkos yang didapatnya dari mereka yang menikah, menalak dan merujuk. Dengan jalan demikian maka pegawai pencatat nikah menjalankan kewajibannya dengan tidak semestinya, hanya semata-mata ditujukan untuk memperbesar penghasilannya, kurang memperhatikan hukum-hukum Islam yang sebenarnya. Perbuatan sedemikian itu yang merupakan suatu koruptie serta merendahkan derajat pegawai nikah, tidak saja mendapat celaan dari pihak perkumpulan-perkumpulan Wanita Indonesia, akan tetapi juga dari pihak pergerakan Islam yang mengetahui betul-betul syarat-syaratnya talak dan sebagainya, tidak setuju dengan cara menjamin penghidupan pegawai nikah sedemikian itu. Pun para pegawai nikah sendiri merasa keberatan dengan adanya peraturan sedemikian itu. Selain daripada penghasilannya tiada tentu, juga aturan pembagian ongkos nikah, talak dan rujuk kurang adil, ya'ni pegawai yang berpangkat tinggi dalam golongan pegawai nikah mendapat banyak, kadang-kadang sampai lebih dari Rp. 100,- (Bandung, Sukabumi dan lain-lain) akan tetapi yang berpangkat rendah sangat kurangnya, antara Rp. 3,50 — Rp. 10,-
Selain daripada itu ongkos nikah (ipekah) oleh beberapa golongan umat Islam dipandangnya sebagai "haram" sehingga tidak tenteramlah mereka itu mendapat penghasilan tersebut. Kuruptie serta keberatan-keberatan lainnya hanya dapat dilenyapkan, jika pimpinan yang bersangkut paut dengan perkawinan, talak dan rujuk diserahkan pada satu instansi, serta para pegawai pencatat nikah diberi gaji yang tetap, sesuai dengan kedudukan mereka dalam masyarakat.
"Undang-Undang Pencatatan nikah, talak dan rujuk" (Undang-Undang No 22 tahun 1946) dimaksudkan untuk dijalankan di seluruh Indonesia; akan tetapi sebelum keadaan mengizinkannya serta Undang-Undang baru itu belum berlaku, aturan yang lama masih dianggap sah. Waktu berlakunya "Undang-Undang Pencatatan nikah, talak dan rujuk" untuk tanah Jawa dan Madura ditetapkan oleh Menteri Agama, sedang di daerah-daerah di luar tanah Jawa dan Madura akan ditentukan oleh Undang-Undang lain.
PENDJELASAN PASAL-PASAL
Pasal 1.
Maksud pasal ini ialah supaja nikah, talak dan rudjuk menurut Agama Islam supaja ditjatat agar mendapat kepastian hukum.
Dalam negara jang teratur segala hal-hal jang bersangkut-paut dengan penduduk harus ditjatat, sebagai kelahiran, pernikahan, kematian dan sebagainja. Lagipula perkawinan bergandengan rapat dengan waris-mal-waris sehingga perkawinan perlu ditjatat mendjaga djangan sampai ada kekatjauan.
Menurut hukum Islam nikah itu ialah perdjandjian antara bakal suami atau wakilnja dan wali perempuan atau wakilnja. Biasanja wali memberi kuasa kepada pegawai pentjatat nikah untuk mendjadi wakilnja; tetapi ia boleh pula diwakili orang lain daripada pegawai pentjatat nikah untuk mendjadi wakilnja; tetapi ia boleh pula diwakili oleh orang lain daripada pegawai jang ditundjuk oleh Menteri Agama, atau ia sendiri dapat melakukan akad nikah itu. Pada umumnja djarang sekali wali melakukan akad nikah, sebab sedikit sekali jang mempunjai kepandaian jang dibutuhkannja untuk melakukan akad nikah itu.
Antjaman dengan denda sebagai tersebut pada ajat 1 dan 3 pasal 3 Undang-undang ini bermaksud supaja aturan administrasi ini diperhatikan akibatnja sekali-kali bukan bahwa nikah, talak dan rudjuk itu mendjadi batal karena pelanggaran itu.
Jang dimaksud dengan mengawasi ialah ketjuali hadlir pada ketika perdjandjian nikah itu diperbuat, pun pula memeriksa, ketika kedua belah (wali dan bakal suami) menghadap pada pegawai pentjatat nikah ada tidaknja rintangan untuk nikah, dan apakah sjarat-sjarat jang ditentukan oleh hukum Agama Islam tidak dilanggar. Selandjutnja perubahan jang penting dalam pasal ini ialah bahwa kekuasaan untuk menundjuk pegawai pentjatat nikah, menetapkan tempat kedudukan dan wilajah pegawai pentjatat nikah, djatuh masing-masing dari tangan Bupati/Raad kabupaten ke tangan Menteri Agama, atau pegawai jang ditundjuk olehnja atau pada Kepala Djawatan Agama Daerah, sedang biaja nikah, talak dan rudjuk tidak dibagi-bagi lagi antara pegawai-pegawai pentjatat nikah, akan tetapi masuk ke Kas Negeri dan Pegawai pentjatat nikah diangkat sebagai Pegawai Negeri.
Jang dimaksud dengan Djawatan Agama Daerah, ialah Djawatan Agama Karesidenan atau Djawatan Agama di Kota Djakarta Raja dan Surakarta.
Surat keterangan tidak mampu harus diberikannja dengan pertjum, mendjaga supaja orang jang tidak mampu djangan diperberat.
Pasal 2.
Sudah terang, dan tidak ada perubahan, ketjuali tjontoh-tjontoh buku pendaftaran, surat nikah, talak dan rudjuk dan sebagainja ditetapkan tidak lagi oleh Bupati, akan tetapi oleh Menteri Agama agar supaja mendapat kesatuan.
Pasal 3.
Maksud pasal 3 ini sama dengan pasal dari Huwelijksordonnantie S. 1929 Nr. 348 hanja sadja pelanggaran terhadap aturan pemberitahuan tentang talak jang didjatuhkan dan rudjuk jang dilakukan dinaikkan dari Rp. 5,- mendjadi Rp. 50,- agar supaja hakim dapat memberi denda setimpal dengan kesalahannja. Oleh karena sering terdjadi seorang isteri jang telah dirudjuk kembali, akan tetapi oleh karena tidak diberi tahukannja oleh suami jang merudjuk kepada pegawai pentjatat nikah, mendjadi tidak mengetahui hal perudjukan, akan kawin lagi dengan orang lain kemudian datang suaminja jang lama, sehingga perkawinan tidak dapat dilangsungkan; atau telah kawin dengan orang lain kemudian datang suami jang lama, sehingga perkawinan jang baru itu dibubarkan. Lebih menjedihkan lagi djika perkawinan jang baru sudah begitu rukun sehingga telah mempunjai anak.
Lain-lain pasal sudah terang dan tidak perlu dijelaskan lagi:
Termasuk Lembaran Negara Nomor 98 Tahun 1954.
Diketahui:
MENTERI KEHAKIMAN,
DJODY GONDOKUSUMO:
Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2 (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
(1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri.Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kaber dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Syarat2 pernikahan
Pasal 6
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Pasal 9
Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 10
Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum, masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 11
(1) Bagi seorang yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Pasal 12
Tata cara perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
Pencegahan pernikahan
Pasal 13
Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 14
(1) Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lain, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Pasal 15
Barang siapa yang karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 16
(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.
Pasal 17
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.
Pasal 18
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.
Pasal 19
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.
Pasal 20
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9< Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
Pasal 21
(1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan yang oleh pegawai pencaatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakkan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan putusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakkan tersebut di atas.
(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akanmemberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakkan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan pada pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahukan tentang maksud mereka.
Batalnya pernikahan
Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 23
Yang dapat mengajukan Pembatalan perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.
b. Suami atau isteri.
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 25
Permihonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.
Pasal 26
(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasrkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka setelah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Pasal 27
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu telah menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 28
(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
c. Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Perjanjian pernikahan
Pasal 29
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
(2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Hak dan kewajiban suami istri
Pasal 30
Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 32
(1) Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami-isteri bersama.
Pasal 33
Suami isteri wajib saling saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Sabtu, 03 Oktober 2009
Diposting oleh WELCOME di 18.55
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar